Translate

Friday 17 August 2018

Lagu Kebangsaan Indonesia ''Indonesia Raya''






"Indonesia Raya" telah menjadi lagu kebangsaan Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Lagu ini diperkenalkan oleh komposernya, Wage Rudolf Supratman, pada 28 Oktober 1928 selama Kongres Pemuda Indonesia Kedua di Indonesia di Batavia. Lagu ini menandai lahirnya gerakan nasionalis seluruh nusantara di Indonesia yang mendukung gagasan satu "Indonesia" sebagai penerus Hindia Belanda, daripada terpecah menjadi beberapa koloni. Surat kabar pertama yang secara terbuka mempublikasikan notasi musik dan lirik "Indonesia Raya" - suatu tindakan pembangkangan terhadap penguasa Belanda - adalah surat kabar Sin Po, surat kabar orang China-Indonesia.

Bait pertama "Indonesia Raya" dipilih sebagai lagu kebangsaan ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Jozef Cleber, seorang komposer Belanda, menciptakan aransemen untuk orkes simfoni pada tahun 1950. Aransemen ini banyak digunakan.

"Indonesia Raya" dimainkan dalam upacara pengibaran bendera di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia setiap hari Senin. Bendera dinaikkan dalam gerakan yang serius, diiringi oleh lagu kebangsaan Indonesia dan berjangka waktu sehingga bendera mencapai puncak tiang bendera saat lagu kebangsaan berakhir. Upacara pengibaran bendera utama diadakan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati hari Kemerdekaan Indonesia. Upacara dipimpin oleh Presiden Indonesia dan biasanya diadakan di Istana Merdeka.

Selama rendisi atau menyanyikan lagu kebangsaan, semua hadir kecuali mereka yang berseragam harus berdiri, menghadap ke arah bendera, dan memberi hormat. Anggota Angkatan Bersenjata dan veteran yang hadir dan tidak berseragam dapat memberi hormat militer; mereka tidak harus diam.

Sejarah


Kongres Pemuda Indonesia



Ketika dia tinggal di Jakarta, Supratman membaca esai dari majalah Timbul. Penulis esai menantang para ahli musik Indonesia untuk membuat lagu kebangsaan Indonesia. Supratman - yang juga seorang musisi - merasa tertantang, dan mulai menulis. Pada tahun 1924, lagu itu selesai selama waktunya di Bandung dan berjudul ''Indonesia''.


Pada tahun 1928, para pemuda dari seluruh Indonesia mengadakan Kongres Pemuda Indonesia pertama, sebuah pertemuan resmi untuk mendorong kemerdekaan bangsa. Setelah mendengar tentang upaya itu, reporter muda, Wage Rudolf Supratman, menghubungi penyelenggara Kongres dengan maksud melaporkan berita itu, tetapi mereka meminta agar dia tidak mempublikasikan kisah itu dari rasa takut penguasa kolonial Belanda. Penyelenggara ingin menghindari kecurigaan sehingga Belanda tidak akan melarang acara tersebut. Supratman menjanjikan mereka ini, dan penyelenggara mengizinkannya akses gratis ke acara tersebut. Supratman terinspirasi oleh pertemuan dan dimaksudkan untuk memainkan lagu untuk konferensi. Setelah menerima dorongan dari pemimpin konferensi Sugondo Djojopuspito, Supratman memainkan lagu itu oleh biola, berharap bahwa suatu hari nanti akan menjadi lagu kebangsaan mereka. Supratman pertama kali menampilkan ''Indonesia'' pada biola pada 28 Oktober 1928 selama Kongres Pemuda Indonesia Kedua. Dia menyimpan naskah itu untuk dirinya sendiri karena dia merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk mengumumkannya.

Distribusi


Setelah Kongres Pemuda Kedua, teks Indonesia didistribusikan oleh banyak organisasi politik dan kemahasiswaan. Pers juga memainkan peran kunci dalam penerbitan lagu tersebut. Pada 7 November 1928, harian Soeloeh Ra'jat Indonesia menerbitkan kata-kata untuk lagu tersebut. Ini diikuti oleh surat kabar Sin Po Cina pada 10 November 1928. Pada tahun 1929, Wage Rudolf Supratman mengubah judul lagunya menjadi "Indonesia Raya" dan menambahkan frasa Lagu Kebangsaan Indonesia di bawahnya, tetapi teks lagunya tidak berubah. Supratman secara pribadi mencetak dan membagikan salinan lagu dengan judul barunya melalui pamflet. Semua seribu salinan naskah itu dijual dalam waktu singkat kepada teman-teman dan keluarganya.

Seorang teman pengusaha, Yo Kim Tjan, juga menyatakan minatnya untuk merekam "Indonesia Raya". Dengan persetujuan Supratman, Yo membuat salinan lagu pada piringan hitam di luar negeri untuk mendapatkan kualitas suara terbaik dengan maksud membawa salinannya kembali ke Indonesia. Namun, sebelum Yo mampu melakukannya, pemerintah kolonial Belanda telah memberlakukan larangan terhadap lagu tersebut. Yo tidak dapat membawa kembali yang asli tetapi dapat membawa pulang salinannya. Menurut Yo, Supratman juga memberinya hak untuk menjual salinan rekaman "Indonesia Raya" melalui tokonya, Toko Populair.

Kepemilikan


Pada tahun 1951, kepemilikan hak cipta atas "Indonesia Raya" menjadi pertanyaan. Presiden Soekarno memerintahkan pencarian pewaris sah untuk Supratman. Secara hukum, Supratman adalah pemegang hak cipta "Indonesia Raya" sebagai komposernya. Setelah kematian Supratman pada tahun 1938, kepemilikan hak atas karya-karyanya jatuh pada ahli waris yang ditunjuk, keempat saudaranya yang masih hidup. Namun, karena "Indonesia Raya" secara resmi diadopsi sebagai lagu kebangsaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, karya tersebut menjadi milik negara. Selain itu, nama "Wage Rudolf Supratman" harus terdaftar sebagai penciptanya.

Sebagai lagu kebangsaan, salinan "Indonesia Raya" tidak dapat diedarkan sebagai barang dagangan untuk dijual. Konsekuensinya, pemerintah memiliki kewajiban untuk mendapatkan semua hak untuk mendistribusikan lagu, termasuk rekaman asli, dari Yo Kim Tjan. Pada tahun 1958, pemerintah memperoleh hak tunggal untuk "Indonesia Raya" dari keluarga Supratman. Tahun berikutnya, Yo menyerahkan rekaman asli lagu itu kepada pemerintah Indonesia. Dengan rekomendasi dari Departemen Pendidikan, pemerintah juga menghadiahi saudara perempuan Supratman dengan masing-masing 250.000 Rupiah setiap tanggal 31 Mei 1960.

lagu kebangsaan


"Indonesia Raya", sebagaimana tercantum dalam Konstitusi Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945) adalah lagu kebangsaan Republik Indonesia.  Ini diatur dalam Bab XV, Pasal 36B konstitusi. 

Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 (PP No.44 / 1958 - Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958), bait pertama "Indonesia Raya" digunakan sebagai lirik resmi lagu kebangsaan Indonesia.

Lirik


Tidak ada terjemahan resmi "Indonesia Raya" ke dalam bahasa lain. Pada tanggal 28 Oktober 1953, pada ulang tahun ke dua puluh lima lagu kebangsaan, surat kabar Harian Umum menerbitkan terjemahan Inggris, Jerman, dan Belanda mereka sendiri dari lagu tersebut. Buletin yang dikeluarkan oleh Kementerian Informasi menggunakan terjemahan ini. Namun, saat ini, terjemahan tidak lagi dipublikasikan.

Indonesia, tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia, kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
"Indonesia bersatu!"


Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya


Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Tanahku, negeriku, yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya


Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Tanahku, negeriku, yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya


Ditulis oleh : Aqsha Berlian Almakawi

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diketik oleh Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Deklarasi tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang melawan kekuatan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga yang terakhir secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima de facto 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Dalam sebuah wawancara 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, antara lain, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. 
Dokumen itu ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, yang ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden masing-masing pada hari berikutnya.

Latar Belakang


Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. 


Awan jamur yang terjadi setelah dijatuhkan bom atom Little Boy di Kota Hiroshima (kiri) pada 6 Agustus 1945 & awan jamur yang terjadi setelah dijatuhkan bom atom Fat Man di Kota Nagasaki (kanan) di Jepang pada 9 Agustus 1945.


Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. 

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus. 


Marsekal Terauchi (paling kiri), Bung Hatta (kedua dari kiri), Radjiman Wedyodiningrat (ketiga dari kiri), Soekarno (tengah).


Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Dr. K. R. T. Radjiman Wedyodinigrat kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang. 

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang. Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. 


Menteri Luar Negeri Jepang Mamoru Shigemitsu menandatangani  surat Menyerahnya Jepang di atas kapal perang USS Missouri, Jenderal Richard K. Sutherland menyaksikan penandatanganan penyerahan diri Jepang, 2 September 1945.

Soekarno dan Hatta bersama Achmad Soebardjo 
kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Laksamana Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. 



Rumah Laksamana Maeda, tempat dimana Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indoenesia ditulis.


Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta BPUPKI Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, Dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat adalah satu-satunya orang yang terlibat secara aktif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan Dr. Radjiman Wedyodinigrat masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo. 

Pada sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan pertanyaan “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.

Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia. tidak tahu telah terjadi Peristiwa Rengasdengklok


Peristiwa Rengasdengklok


Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia. 


Pertemuan Soekarno/Hatta Dengan Jenderal Mayor Nishimura Dan Laksamana Muda Maeda


Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan. 

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.


Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).



Detik-Detik Pembacaan Naskah Proklamasi


Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.



Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Istana Merdeka.


Soekarno berdoa sebelum membaca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.


Pengibaran bendera merah putih.



Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.


Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Otto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional. 




Isi Teks Proklamasi



Naskah Proklamasi Yang Ditulis Soekarno


Teks naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Adapun yang merumuskan proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia terdiri dari Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, S. Miyoshi, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo.

Para pemuda yang berada di luar meminta supaya teks proklamasi bunyinya keras. Namun Jepang tak mengizinkan. Beberapa kata yang dituntut adalah "penyerahan", "dikasihkan", diserahkan", atau "merebut". Akhirnya yang dipilih adalah "pemindahan kekuasaan". Setelah dirumuskan dan dibacakan di rumah orang Jepang, isi proklamasi pun disiarkan di radio Jepang.


Naskah Proklamasi yang ditulis oleh Soekarno.




Naskah Proklamasi yang ditulis oleh Soekarno ini ditinggal begitu saja dan bahkan sempat masuk ke tempat sampah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. B.M. Diah menyelamatkan naskah bersejarah ini dari tempat sampah dan menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari, hingga diserahkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha pada 29 Mei 1992.

Naskah Baru Setelah Mengalami Perubahan


Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang wartawan dan tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi), yang isinya adalah sebagai berikut : 

Naskah Proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik.

(Keterangan: Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".) 

Perbedaan Teks Naskah Proklamasi Klad Dan Otentik

Di dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu sebagai berikut : 
  • Kata "Proklamasi" diubah menjadi "P R O K L A M A S I",
  • Kata "Hal2" diubah menjadi "Hal-hal",
  • Kata "tempoh" diubah menjadi "tempo",
  • Kata "Djakarta, 17 - 8 - '05" diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05",
  • Kata "Wakil2 bangsa Indonesia" diubah menjadi "Atas nama bangsa Indonesia",
  • Isi naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Sedangkan isi naskah Proklamasi Otentik adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi),
  • Pada naskah Proklamasi Klad memang tidak ditandatangani, sedangkan pada naskah Proklamasi Otentik sudah ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.

Teks Proklamasi yang tercantum pada uang pecahan 100,000 Rupiah.


Klip Suara Naskah Yang Dibacakan Oleh Ir. Soekarno di Studio RRI



Tempat Pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh Ir. Soekarno untuk pertama kali adalah di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (hari di mana diperingati sebagai "Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia"), pukul 11.30 waktu Nippon (sebutan untuk negara Jepang pada saat itu). Waktu Nippon adalah merupakan patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, yang ada hanyalah dokumeBerikut ini adalah teks pidato Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Suara asli dari Ir. Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengar saat ini adalah bukan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli Soekarno yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat 4-5 – Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro.

Teks Pidato Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Berikut ini adalah teks pidato Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Saudara-saudara sekalian,
Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjoang, untuk kemerdekaan tanah air kita bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.
Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya. Di dalam jaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami :

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun negara kita!
Negara merdeka, negara Republik Indonesia! Merdeka, kekal, abadi! Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini.

Tugu Proklamasi di Jalan Proklamasi (dulu Jalan Pegangsaan Timur) tempat dibacakannya Naskah Proklamasi Otentik pada tanggal 17 Agustus 1945


Friday 10 August 2018

Bendera Indonesia

Bendera nasional Negara Republik Indonesia, sang saka merah putih. 


Nama :
Sang Saka Merah-Putih, Bendera Merah-Putih atau Merah-Putih 

Pemakaian :
Bendera Negara

Perbandingan :
2:3

Dipakai :
Kerajaan Majapahit (Abad ke-13)
17 Agustus 1945 (Asli)
17 Agustus 1950 (Resmi)

Rancangan :
Dua garis horizontal seukuran, merah (atas) dan putih (bawah)

Perancang :
Tidak diketahui
(terinspirasi oleh panji kerajaan Majapahit)

Varian bendera Bendera Indonesia.
Nama :
Ular-Ular Perang (lencana perang) 

Pemakaian :
Bendera kapal perang


Sejarah


Warna merah-putih bendera berasal dari  warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Namun, telah disarankan bahwa simbolisme merah dan putih dapat melacak asal-usulnya ke mitologi Austronesia kuno yang lebih tua tentang dualitas Ibu Pertiwi (merah) dan Bapa Langit (putih). Inilah mengapa warna merah-putih ini muncul di banyak bendera di seluruh Austronesia, dari Tahiti hingga Madagaskar. Catatan paling awal dari panji merah atau putih atau pataka (bendera panjang pada batang bambu melengkung) dapat ditemukan dalam babad Pararaton; menurut sumber ini, pasukan Jayakatwang dari Gelang-Gelang mengangkat bendera merah-putih selama invasi Singhasari pada awal abad ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan sebelum era Kerajaan Majapahit, warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji atau bendera kerajaan di era Kediri (1042-c.1222).

Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis. 

Bukan hanya kerajaan Jawa yang menggunakan warna merah dan putih. Bendera perang Raja Sisingamangaraja IX dari tanah Batak bergambar pedang kembar putih yang disebut piso gaja dompak dengan latar belakang merah.

Bendera perang Raja Sisingamangaraja IX.

Selama Perang Aceh tahun 1873-1904, para pejuang Aceh menggunakan bendera perang dengan gambar pedang, bintang dan bulan sabit, matahari, dan beberapa naskah Alquran yang berwarna putih dengan latar belakang merah. Bendera merah putih dari kerajaan Bugis Bone di Sulawesi Selatan disebut Woromporang. Bendera kerajaan Bali Badung (Puri Pamecutan) berwarna merah, putih, dan hitam, mungkin berasal dari Majapahit. Selama Perang Jawa (1825–1830) Pangeran Diponegoro juga menggunakan bendera merah dan putih.

Menurut seorang Guru Besar sejarah dari Universitas Padjajaran Bandung, Mansyur Suryanegara semua pejuang Muslim di Nusantara menggunakan panji-panji merah dan putih dalam melakukan perlawanan, karena berdasarkan hadits Nabi Muhammad. Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang-pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran. Di zaman kerajaan Bugis Bone, Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone. Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang. Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit. 

Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula.

Bendera Belanda digunakan sejak 20 Maret 1602 - 8 Maret 1942 (340 tahun).


Bendera Jepang digunakan sejak 8 Maret 1942 - 17 Agustus 1945 (3 tahun 5 bulan).

Bendera Merah Putih digunakan sejak 17 Agustus 1945 sampai sekarang.


Nama


Nama resmi bendera tersebut adalah Sang Saka Merah-Putih menurut Pasal 35 UUD 1945. Bendera ini biasa disebut Bendera Merah-Putih (Bendera Merah-Putih). Kadang-kadang, itu juga disebut Sang Dwiwarna. Sang Saka Merah-Putih mengacu pada bendera historis yang disebut Bendera Pusaka (bendera pusaka) dan tiruannya. Bendera Pusaka adalah bendera yang diterbangkan di depan rumah Sukarno setelah ia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bendera Pusaka asli dijahit oleh Ibu Fatmawati, dan dikibarkan setiap tahun di depan istana kepresidenan selama upacara hari kemerdekaan. Bendera Pusaka ini dikibarkan untuk terakhir kalinya pada 17 Agustus 1968. Sejak itu telah disimpan dan digantikan oleh replikanya karena bendera aslinya dianggap terlalu rapuh, sekaran sudah disimpan di Monumen Nasional atau Monas.


Bendera Pusaka asli yang sekarang berada di dalam Monumen Nasional (Monas).

Tempat penyimpanan (vitrin) bendera pusaka Merah Putih di Ruang Kemerdekaan, Cawan Tugu Monas. Foto diambil Sabtu (12/8/2017).



Arti warna


Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti keberanian, putih berarti kesucian. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia. Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Penjelasan : Warna merah mirip dengan warna gula jawa (gula aren) dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba. 


Insiden Hotel Yamato


Bendera merah putih dikibarkan dalam sebuah insiden terkenal selama Perang Kemerdekaan Indonesia ketika selama menjelang Pertempuran Surabaya pada akhir 1945, para pemuda Indonesia merobek bagian strip biru dari Bendera belanda yang berkibar di atas hotel tersebut dan kembali -membuatnya sebagai bendera Indonesia. Hotel ini kemudian berganti nama menjadi Hotel Merdeka.


Sesaat setelah bendera biru bendera Belanda robek menjadi warna bendera Indonesia,
merah dan putih, di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), Surabaya.


Peraturan Tentang Bendera Merah Putih


Bendera negara diatur menurut UUD 1945 pasal 35, UU No 24/2009, dan Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia.

Bendera Negara dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur dan dengan ketentuan ukuran:

  1. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan.
  2. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum.
  3. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan.
  4. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden.
  5. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara.
  6. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum.
  7. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal.
  8. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api.
  9. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara/pesawat terbang.
  10. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
  11. 3 cm x 5 cm untuk penggunaan di seragam sekolah.

Bendera Indonesia yang terdapat pada mobil kepresidenan dengan ukuran 36 cm x 54 cm.

Pengibaran dan/atau pemasangan bendera harus dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam, tetapi dalam keadaan tertentu, hal itu dapat dilakukan pada malam hari. Dalam penggunaan sehari-hari, bendera harus dikibarkan pada setiap peringatan seperti Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus setiap tahun, oleh warga yang memiliki hak untuk menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, sekolah, perguruan tinggi, transportasi umum dan pribadi dan kantor perwakilan Indonesia di luar negeri.

Bendera Negara juga dikibarkan pada waktu peringatan hari-hari besar nasional atau peristiwa lain, yaitu :
  1. Tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas);
  2. Tanggal 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional (hari berdirinya Boedi Oetomo);
  3. Tanggal 1 Oktober, Hari Kesaktian Pancasila;
  4. Tanggal 28 Oktober, Hari Sumpah Pemuda;
  5. Tanggal 10 November, Hari Pahlawan;
  6. Tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia
  7. Peristiwa lain (yang dimaksud dengan “peristiwa lain” adalah peristiwa besar atau kejadian luar biasa yang dialami oleh bangsa Indonesia, misalnya pada kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke daerah dan pada perayaan dirgahayu daerah).
Bendera Negara wajib dikibarkan setiap hari di :
  1. Istana presiden dan wakil presiden;
  2. Gedung atau kantor lembaga negara;
  3. Gedung atau kantor lembaga pemerintah;
  4. Gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;
  5. Gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
  6. Gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
  7. Gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
  8. Gedung atau halaman satuan pendidikan;
  9. Gedung atau kantor swasta;
  10. Rumah jabatan presiden dan wakil presiden;
  11. Rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
  12. Rumah jabatan menteri;
  13. Rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
  14. Rumah jabatan gubernur, bupati, wali kota, dan camat;
  15. Gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
  16. Pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  17. Lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; dan
  18. Taman Makam Pahlawan Nasional. 

Beberapa Bendera Indonesia di depan Monumen Nasional atau Monas.

Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah dapat dipasang pada peti atau usungan jenazah presiden atau wakil presiden, mantan presiden atau mantan wakil presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.

Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Setiap orang dilarang :
  1. Merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
  2. Memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
  3. Mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
  4. Mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
  5. Memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.


Bendera Setengah Tiang


Bendera Indonesia dikibarkan setengah tiang saat peristiwa-peristiwa:

  • Setelah tsunami dan gempa bumi Samudra Hindia 2004 di Aceh
  • Setelah kematian mantan presiden, misalnya bendera setengah tiang yang dikibarkan selama seminggu setelah kematian Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid
  • Pada masa Presiden Soeharto, bendera setengah tiang juga dikibarkan untuk mengenang peristiwa Gerakan 30 September 1965 dari Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Namun, setelah kejatuhan Soeharto, kegiatan ini tidak diwajibkan.
  • Pada hari berkabung nasional lainnya.


Bendera Indonesia dikibarkan setengah tiang di Istana Negara.



Lagu yang diperuntukkan untuk bendera Indonesia




Berkibarlah Benderaku

Berkibarlah Benderaku adalah lagu yang diperuntukkan untuk bendera Indonesia. Lagu ini digolongkan sebagai salah satu lagu wajib.



Kemiripan dengan Bendera Negara Lain




Menurut kesetaraan kedudukannya sebagai bendera nasional, bendera ini mirip dengan Bendera Monako yang mempunyai warna sama, tetapi rasio yang berbeda. Selain itu, bendera ini juga mirip dengan Bendera Polandia, tetapi warnanya terbalik. 




Bendera Nasional Monako.


Bendera Nasional Polandia.


Bendera Nasional Singapura.

Ditulis oleh : Aqsha Berlian Almakawi